Kamis, 15 November 2007

Pendidikan Kita

PENDIDIKAN KITA

Akhir-akhir ini banyak sekali bencana yang terjadi di Indonesia baik dari bencana alam, politik, ekonomi, sosial, serta pendidikan. Berkitan dengan pengumuman kelulusan ujian akhir nasional, banyak sekali peristiwa yang sangat memprihatinkan, baik dari kalangan murid, dewan guru, ataupun dari departemen pendidikan itu sendiri. Dalam pengumuman tersebut ternyata banyak sekali siswa yang tidak lulus ujian nasional. Kenyataan tersebut menimbulkan reaksi yang bermacam-macam dari berbagai pihak. Ada yang menyalahkan departemen pendidikan yang dinilai terlalu tinggi menetapkan standar nilai minimum, ada yang menyalahkan murid yang kurang seruius dalam belajar, dan masih banyak lagi.

Dari sudut pandang murid, mereka merasa sangat dirugikan dengan kenyataan ketidaklulusan mereka. Ketidakpuasan itu mereka ungukapkan dengan berbagai cara, ada yang demo, menghajar gurunya, dan ada yang sampai membakar sekolahnya sendiri. Sangat memprihatinkan memang melihat kondisi tersebut mengingat bangsa ini sedang sibuk menangani berbagai musibah yang silih berganti diberbagai daerah. Satu bencana belum selesai selalu disusul oleh bencana yang lain. Salah satu televisi swasta menyiarkan alasan para siswa tidak terima keputusan tersebut karena mereka telah diterima PMDK di ITB, IPB, UGM, bahkan ada yang mendapat Bea Siswa sampai keluar negeri tepatnya Jerman. Mereka tidak bisa mengambil kesempatan itu karena mereka gagal melewati UAN. Oleh karena itu mereka merasa dijadikan bahan percobaan Departemen Pendidikan untuk meningkatkan indek pendidikan di Indonesia.

Dari satu topik tersebut terdapat banyak hal yang bisa dikoreksi demi kebaikan bangsa Indonesia. Yang pertama tentang upaya DEPDIKNAS untuk meningkatkan indek pendidikan di Indonesia dengan meningkatkan nilai minimum dalam UAN, memang benar usaha tersebut ditujukan untuk memacu siswa untuk belajar lebih rajin dan lebih serius untuk masa depan mereka. Akan tetapi mereka juga harus memikirkan dan meninjau sisi sekolah itu sendiri. Sudah berkualitaskah guru-gurunya, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, buku-buku, dll yang mendukung perkembangan siswa. Kalau dana utnuk pendidikan saja sangat minim, mana bisa maju negara ini mengingat pendidikan merupakan hal yang sangat menentukan kualitas SDM suatu bangsa. Kalau faktor-faktor tersebut sudah tercukupi, mungkin pantas bila DEPDIKNAS mematok nilai berapa pun untuk batas minimal nilai UAN.

Yang kedua tentang siswa, apakah mereka itu sudah mengaca seberapa jauhkah pemahaman mereka tentang pelajaran yang diujikan dalam UAN. Seberapa keraskah usaha mereka belajar untuk menguasai materi yang diujikan. Apa alasan mereka tidak terima dengan keputusan pengumuman UAN? Sangat lucu sekali kalau dipikir bila ada seorang siswa yang tidak mau menerima hasil UAN-nya tetapi dia sendiri belum melihat dirinya sendiri. Apakah mereka sudah cukup pintar dengan pelajaran yang diujikan sehingga saat ada pengumuman yang menyatakan bahwa mereka tidak lulus langsung mereka tidak terima dengan alasan yang tidak jelas dan hanya ingin membela diri dan rasa malu mereka.

Yang ketiga dari sisi perguruan tinggi yang menerima mereka melalui jalur PMDK, Bea Siswa ke luar negeri. Kira-kira apa yang menjadi dasar mereka menerima siswa yang kenyataan membuktikan siswa-siswa tersebut mendapat nilai 4 matematikannya. Ini dari data siswa yang palsu atau dari sistem penyeleksiannya yang sudah tidak sehat lagi. Perguruan tingi hendaknya lebih serius dalam menyeleksi siswa yang berhak mendapatkan PMDK, Bea Siswa pendidikan dsb. Hal itu untuk menghindari adanya salah sasaran seperti yang telah banyak terjadi.

Bagaimana pendapat anda menyikapi hal tersebut?

Tidak ada komentar: